Rabu, 07 Januari 2015

Hukum Harta Pusaka Tinggi dan Tanah Ulayat di Minangkabau



Banyak tanah ulayat yang di sertifikatkan, kenapa bisa, apakah Pertanahan melanggar Hukum?
Salah satu keistimewaan dan yang menjadi kekuatan Adat Minang Kabau adalah karena adanya Harta Pusaka Tinggi dan diakuinya Tanah Ulayat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kesatuan suku atau kaum dalam kekerabatan Materinial yang mengikat satu sama lainnya.
Bagi masyarakat Minang Kabau harta pusaka tinggi atau tanah ulayat merupakan marwah dalam suku atau kaumnya, ada pusaka tinggi dan tanah ulayat berarti ada suku atau kaum, karena cirri cirri adanya suatu suku atau kaum dalam kekerabatan Metrinial adalah dengan adanya :
  1. Rumah Gadang (Rumah gadang tempat berhimpunnya kaum atau saudara sesuku) 
  2. Sasok Jarami (Sawah atau ladang tempat menhidupi keluarga atau kaum) 
  3. Pandam pakuburan (Tanah pekuburan kaum atau suku) 
  4. Lantak supadan (batas-batas kebun dan hutan ulayat untuk pengembangan usaha). 
Pengertain Harta Pusaka Tinggi atau tanah ulayat
Harat pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah harta yang diperoleh melalui usaha, kerja dan pencarian seorang ayah yang dapat dibagikan dan diwariskan kepada anak dan istrinya.


Harta pusaka tinggi adalh harta yang diperoleh dari hasil kerjasama, gatong royong antara mamak dan kemenakan dalam suatu suku atau kaum pada masa lalu yang diperuntukkan manfaatnya bagi saudara dan kemenakan perempuan menurut suku atau kaum dari garis ibu sesuai konsep meterinial, sedangkan tanah ulayat adalah didapat dari pembagian wilayah kekuasaan antara penghulu dalam suatu nagari menurut sesuai jumlah masing-masing suku yang ada dalam nagari itu pada zaman dulunya.


Status kepemilikan
Harta pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah milik pribadi yang dapat diperjual belikan atau dipindah tangankan oleh seseorang kepada orang lain, harta pusaka tinggi adalah milik suku atau kaum yang terdiri dari kesatuan kekrabatan keluarga besar dalam suatu suku atau kaum yang diatur pemanfaatannya oleh ninik mamak penghulu suku untuk saudara perempuan dan kemenakan, inilah yang disebut dalam aturan adat bahwa “Mamak maulayat diharato pusako” (Mamak mengulayat pada harta pusaka).


Pengertian mamak mengulayat pada harta pusaka adalah bahwa seorang mamak penghulu suku yang ditunjuk atau dipilih oleh saudara dan kemenakan dalam suku atau kaum di Minang Kabau mempunyai tanggung jawab yang besar kepada saudara dan kemenakan dalam suku atau kaum yang dipimpinnya, diantaranya adalah menjaga memelihara dan menagtur pemanfaatan harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk saudara dan kemenakan dari suku yang dipimpinnya, dengan palsapah adat

“Nan kamaagak maagiahkan, nan kamanimbang samo barek, nan kamaukua samo panjang, nan kamambagi samo banyak, sasuai mungkin jo patuik sukua mangko manjadi” 

Larangan menjual mengadai harta pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi atau tanah ulayat di Minang Kabau tidaklah boleh dipejual belikan ataupun digadaikan kepada orang lain, karena kalau harta pusaka tinggi digadaikan atau apalagi dijual kepada orang lain maka suatu suku atau kaum akan kehilangan ulayat dan hartanya sehingga tidak adalagi jaminan hidup bagi saudara dan kemenakan perempuan dimasa-masa yang akan datang, dan akan terjadi penurunan nilai-nilai kekerabatang materinial itu sendiri, inilah yang disebut dalam pepatah adat “harato pusako tinggi dijua indak dimakan bali digadai indak dimakan sando” (harta pusaka tinggi dijual tidak dimakan beli digadai tidak dimakan agun)


Tujuan harta pusaka tinggi dipelihara adalah untuk melindungi kaum yang lemah yaitu kaum perempuan dan ini sudah teradat dari dahulu makanya adat Minang mengambil pesukuan dari garis ibu, sedangkan harta pusaka rendah yaitu pencarian pribadi Sang ayah dan ibu tetap bisa diwariskan kepada anak istrinya dan tidak boleh pula dibagikan kepada saudara kemenakan dalam pesukuan..

Pedoman kerja seorang mamak penghulu adat
Seorang mamak penghulu suku harus bijak dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala kaum dalam sukunya maupun sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya dia harus bisa membedakan mana yang hak saudara dan kemenakanya dan mana yang hak anak istrinya, hal ini telah diatur dalam aturan adat seperti pepatah adat yang mengatakan : “Kaluak paku kacang balimbiang tampuruang lenggang lenggokkan dibaok urang ka saruaso, anak dipangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan tenggang nagari jan binaso”, (keluk paku kacang belimbing tempurung lenggang lenggokkan dibawa orang ke saruasa, anak dipangku kemenakan dibimbing orang kampong dipertenggangkan tenggang negeri jangan binasa).



Maksut dari pepatah ini adalah pedoman bagi seorang mamak dalam suku atau kaum dalam menjalankan fungsinya baik sebagai mamak bagi kmenakan maupun sebagai kepala keluarga bagi anak dan istrinya, serta sikap sebagai masyarakat di dalam nagari atau kampungnya. Anak dipangguk dengan hasil usaha atau pencarian pribadi, kemenakan dibimbing dengan harta pusaka tinggi atau ulayat, orang kampong dipertenggangkan dengan salang tenggang, gotong royong, kerja sama, dan tenggang nagari jangan binasa dengan sikap kurenah, perangai kita jangan membuat malu nagarai atau kampung kita sendiri.


Sangatlah dilarang dalam adat seorang mamak atau pengulu adat membawa harta pusaka tinggi atau ualayat sukunya untuk anak istrinya apa lagi yang menggadai bahkan menjual harta pusaka tinggi atau ualayat adat untuk kepentingan anak dan istrinya, dan begitu juga sebaliknya sangatlah tidak pantas harta pencarian kita sendiri diberikan kepada saudara dan kemenakan secara berlebihan sementara anak dan istri masih berkekurangan.

Harta pusaka tinggi yang beleh dimanfaatkan mamak pemangku adat.
Seorang mamak penghulu adat dapat memanfaatkan harta pusaka tinggi atau ualayat untuk keperluan hidupnya dan keluarganya apa bial telah disepakati melalui anak kemenakan dengan istilah sawah atau ladang abuan yang memang diperuntukan bagi mamak yang menjabat gelar pengulu adat atau keperluan yang sangat mendesak atau sangat urgent lainnya seperti sakit keras dll.

Kelonggoran Menggadai harta pusaka tinggi dalam adat.
Tidak dibenarkanya menggadai dan menjual harta pusaka tinggi atau tanah ulayat di Minang Kabau bukanlah harga mati yang tidak ada toleransi sama sekali kecuali menjual memang harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar, sedangkan menggadai masih ada kelonggaran yaitunya apa bila terjadi 4 perkara :

  1. Maik tabujua ateh rumah (mayat terbujur diatas rumah ), Apabila ada dari keluarga yang meninggal dunia namun tidak ada family atau orang kampung yang akan membantu untuk menyelenggarakan jenazahnya sedangkan menyelenggarakan jenazah itu wajib menurut agama, maka boleh menggadaikan harta pusaka untuk mengupahkan orang menyelenggarakan jenazah tsb. 
  2. Gadih atau rando indak balaki (gadis atau janda tak punya suami), Kalau ada saudara atau family perempuan baik dia gadis atau janda yang tidak punya suami dan tidak ada orang yang mau mengawini dia sedangkan usianya sudah lanjut maka boleh menggadaikan harta pusaka tinggi untuk membayar laki-laki lain agar mau menikahi dia, karena aib di Minang Kabau kalau ada perempuan yang tidak punya suami apabila sudah sampai waktunya. 
  3. Rumah gadang katirisan (Rumah Gadang rusak berat), Apa bila rumah gadang rusak berat seperti bocor, dinding lapuk tangga runtuh dll dan tidak ada orang laki-laki yang kuat untuk memperbaikinya maka supaya rumah gadang jangan sampai runtuh boleh menggadaikan harta pusaka tinggi atau ulayat untuk memperbaikinya, karena rumah gadang di Minang Kabau adalah merupakan lambang kesatuan suku yang kuat dan kokoh, mencerminkan kehidupan yang harmonis penuh kekeluargaan dalam suatu kaum yang diikat dengan pola persaudaraan yang materinial 
  4. Mambangkik batang tarandam, (Membangkit batang terendam), Apa bila ada gelar penghulu adat dalam suku yang tidak terpasang sedangkan anak kemenakan semakin kembang memerlukan bimbingan seorang penghulu adat sementara pengulu adat atau datuknya sudah lama terbenam (tidak dinobatkan) sementara anak kemenakannya tidak mempunyai biaya untuk menyelenggarakan upacara penobatan gelar penghulu itu maka boleh mengadai secukupnya untuk pelaksanaan acra tersebut. 

Diluar yang 4 macam tersebut pada hakekatnya tidak diperkenankan bagi masyarakat Minang untuk menggadaikan harta pusaka tinggi atau ulayat, kecuali yang sifatnya urgent sekali seperti
  1. Ada kemenakan yang sekolahnya sedang tergantung atak cerdas nilai tinggi, tapi ibu miskin ayah meninggal saudarapun miskin pula tak ada tempat bertenggang, maka boleh mengadaikan harta pusaka tinggi untuk keperluan sekolahnya dan kalau sudah bekerja nanti dapat ditebus kembali. 
  2. Ada keluarga dan family yang sakit keras harus dioperasi dll, uang tidak ada untuk biaya familipun hidupnya susah juga maka boleh menggadaikan harta pusaka seperlunya dll yang sifatnya sangat urgent.
Pada hakikatnya menggadaikan harta pusaka tinggi atau ulayat di Minang Kabau sangat dilarang, apa lagi menjualnya malah sangat tidak boleh, karena kalau dibolehkan mengadai atau menjual maka akan hilanglah keistimewaan Minang Kabau, Ladang habih sawah tagadai, parak tandeh hutan tajua, dima katampek iduik lai kamanakan batambah banyak juo, akianyo manumpang ditanah urang manjawek upah patang pagi, pilolah nasib kabarubah akianyo rantau dipajauah kampuang dihuni urang lain, harato bapindah tangan Minang kabau katingga namo.

0 komentar:

Posting Komentar