This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 24 Januari 2015

PRESIDEN TAK TEGAS, INDONESIA AKAN KACAU BALAU ?????

Menerima hujatan adalah resiko berpolitik. Seorang pemimpin politik harus siap jadi pembawa bendera, siap di berada di garis terdepan, siap menerima kritik dan hantaman.
Perjuangan politik haruslah dalam koridor konstitusi. Harus dilakukan tanpa kekerasan.

Indonesia bukan Solo, bukan pula Jakarta. Negara ini berpenduduk 240 juta jiwa yang tersebar di 34 Provinsi. Indonesia juga memiliki keragaman agama, adat, budaya dan bahasa.
Dengan segala ke-Indonesiaan itu, kita butuh pemimpin yang kuat, berpengalaman dan tegas dalam mengambil keputusan. Maka wajar, bila beberapa waktu lalu, ketika Jokowi digadang-gadang jadi Capres 2014, mantan Wapres Jusuf Kalla menolak keras dengan sejumlah alasan.
Dalam tayangan wawancara JK dengan Harian Bisnis TV yang diapload Hendras Sakti di youtube itu, JK menegaskan, “Jangan karena popularitas lalu kita dengan mudah mencalonkan seseorang sebagai presiden”. “Negara ini bukan tempat uji coba kepemimpinan, kalau gagal kita copot diganti pemimpin baru.”
Di negara ini bergantung nasib 240 juta manusia dari berbagai latar belakang sosial dengan kompleksitas masalah yang rumit. Dengan kompleksitas itu, maka Indonesia membutuhkan figur yang kuat dengan kepemimpinan yang teruji.
Ketika ditanya apakah Jokowi layak memimpin Indonesia (Presiden) dengan tegas dan meyakinkan JK menolak. Kata JK ; “Jangan dicampur aduk dong.. biarkan Jokowi pimpin Jakarta dulu, bisa hancur dan kacau negara ini kalau di pimpin Jokowi”. Tambah JK, dia baru dibilang sukses memimpin Solo, Jakarta pun dia (Jokowi) belum terukur, bagaimana bisa memimpin negara dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa ini? Petikan wawancara JK selengkapnya ada di sini : 
Wawancara JK yang tajam dan bernas itu, menyadarkan kita, bahwa Jokowi belum sepantasnya mencalonkan diri sebagai presiden RI. Apalagi sebagai gubernur DKI yang terpilih pada pilgub 2012, ia belum menuntaskan janji-janjinya. Untuk janji dengan derajat Jakarta (Provinsi DKI) saja tak sanggup ia penuhi, apalagi janjinya sebagai presiden yang mencakup 34 provinsi. Meminjam istilah JK “Bisa rusak negara ini”.
Ibarat naik kelas, Jokowi mengalami akselerasi yang tak wajar. Biasanya kelas akselerasi itu diduduki oleh mereka yang berprestasi dengan indeks kemampuan yang terukur (di atas rata-rata). Sementara Jokowi, belum mengkualifikasikan dirinya dengan indeks prestasi sebagai gubernur DKI. Maka tak wajar, bila akselerasi kekuasaan ini ada di tangan Jokowi.
Terminologi yang tepat adalah Jokowi naik tahta, atau mengalami loncatan nasib berkat kuasa media. Media yang terlampau latah membajak imajinasi publik dengan “sebuah mobil rakitan bodong bernama mobil SMK.”
Membayangkan Indonesia dipimpin Jokowi, sama mirisnya melihat kegamangan Jokowi memimpin Jakarta. Membayangkan pengalaman kepemimpinan Jokowi bila jadi presiden, sama ngerinya membayangkan pengalaman Jokowi sebagai walikota Solo. Sebuah kota kecil dengan 5 (lima) kecamatan dan 51 kelurahan. Ada baiknya merenungkan wawancara JK ; “bisa kacau negara ini, kalau dipimpin Jokowi. Wallahu’alam. 

Kamis, 15 Januari 2015

PENDISTRIBUSIAN KARTU TRISAKTI PEMERINTAH MELANGGAR UU, DAN BERNUANSA BISNIS


PENDISTRIBUSIAN KARTU TRISAKTI PEMERINTAH MELANGGAR UNDANG-UNDANG

Pendistribusian Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membagikan tiga kartu sakti Jokowi yaitu KIS (Kartu Indonesia Sehat), Kartu Indonesia Pintar(KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Namun, pendistribusian tiga kartu tersebut di seluruh kabupaten atau Kota  ternyata masih amburadul.
Di beberapa daerah, banyak sekali di temukan pendistribusiannya sangat mengecewakan. Bahkan penerima kartu itu cendrung di terima oleh masyarakat yang bukan berhak menerimanya.
Saya banyak laporan di daerah, selain mereka penerima tidak berhak juga masih banyak di temukan orang yang berhak tidak mendapatkan karna kurangnya sosialisasi, 
Pemerintah harus menggunakan  data terbaru, bukan menggunakan data yang sudah karatan,TAHUN 2011 dalam pelaksanaan program dalam uu harus data terbaru paling lama 2 tahun.  , Bagaimana Saudara bisa menduga orang meninggalpun masuk dalam data,  apakah menemukan hal yang sama di daerah saudara, mari bersama awasi??
Pemerintah juga harus memberikan sosialisasi dengan jelas kepada masyarakat penerima, karna banyak sekali di temukan, kartu sakti jokowi (KIS, KIP, KKS) ini tidak di mengerti penggunaanya, sehingga semua di jadikan untuk kubutuhan konsumerisme. Pembagian kartu ini menjadi mubazir, karna di gunakan tidak sesuai dengan peruntukannya, 
Dugaan Penyimpangan Pendistribusian:
1.      Data yang penerima dari data BPS 2011, tidak di abdatenya data, melanggar UUD uu no.13 Pasal 8, ayat (5). tahun 2011 - : tentang data kemiskinan harus di abdate sekali 2 tahun: Pendataan Fakir Miskin: Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.
2.   Pada Kartu yang di temukan adanya di temukan provider, kartu telpon, XL, M3 dan Telkomcell. Sehingga dengan demikian akan ada unsur bisnisnya, sementara pekerjaan sosial di lapangan di jadikan kedok, dengan demikian di duga ada pihak ke 3 yang bermain.
      KKS kepada 15,5 juta, KIP 11,1 juta siswa, KIS 86, 4 juta penduduk, Di perkirakan 117 jt cip kartu telpon di gunakan, pertanyaanya apakah juga nomor ini harus di gunakan. Patut di duga ada nuansa Bisnis dalam penentuan Simcard ini.
Saran
-     -Untuk itu perlu rasanya penataan kembali pemberian dan pendistribusian kartu sakti pemerintah ini.
-Dilibatkan Pemerintah kab/kota, bahkan sampai ketingkat bawah camat dan Desa yang tahu data siapa yang berhak menerima semua Kartu Program Pemerintah tersebut.
wass. H. MHD. A.S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG
PENANGANAN FAKIR MISKIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara
mempunyai tanggung jawab untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara
bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin
guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kemanusiaan;
c. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara
sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan
kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada
fakir miskin secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan;
d. bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan
dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga
diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin yang
terintegrasi dan terkoordinasi;
e. bahwa . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-2-
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penanganan Fakir Miskin;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4),
dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN FAKIR
MISKIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
2. Penanganan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-3-
2. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah,
terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta
fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga negara.
3. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
4. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2
Penanganan fakir miskin berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan sosial;
c. nondiskriminasi;
d. kesejahteraan;
e. kesetiakawanan; dan
f. pemberdayaan.
BAB II . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-4-
BAB II
HAK DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 3
Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan
perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan
martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam
membangun, mengembangkan, dan memberdayakan
diri dan keluarganya sesuai dengan karakter
budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial
dalam membangun, mengembangkan, serta
memberdayakan diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang
berkesinambungan; dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Pasal 4
Fakir miskin bertanggung jawab:
a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang
dapat merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan
ekonominya;
b. meningkatkan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-5-
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial
dalam bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan
meningkatkan taraf kesejahteraan serta berpartisipasi
dalam upaya penanganan kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan
bagi yang mempunyai potensi.
BAB III
PENANGANAN FAKIR MISKIN



Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah,
terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Pasal 6
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
Pasal 7
(1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengembangan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-6-
a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk
mengembangkan kemampuan dasar dan
kemampuan berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk
memberikan rasa aman bagi fakir miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku
kepentingan; dan/atau
e. koordinasi antara kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah.
Bagian Kedua
Pendataan Fakir Miskin
Pasal 8
(1) Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai
dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin.
(2) Dalam . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-7-
(2) Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk
melakukan pendataan.
(4) Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap
hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan secara berkala sekurangkurangnya
2 (dua) tahun sekali.
(6) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dikecualikan apabila terjadi situasi dan
kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi seseorang menjadi
fakir miskin.
(7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber
kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan,
kelurahan atau desa.
(8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota.
(9) Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan
validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada
gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Pasal 9 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-8-
Pasal 9
(1) Seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara
aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala
desa atau nama lain yang sejenis di tempat
tinggalnya.
(2) Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir
miskin wajib melaporkan setiap perubahan data
anggota keluarganya kepada lurah atau kepala desa
atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya.
(3) Lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis
wajib menyampaikan pendaftaran atau perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada bupati/walikota melalui camat.
(4) Bupati/walikota menyampaikan pendaftaran atau
perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
(5) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat
melakukan verifikasi dan validasi terhadap
pendaftaran dan perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 10
(1) Data yang telah diverifikasi dan validasi harus
berbasis teknologi informasi dan dijadikan sebagai
data terpadu.
(2) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Menteri.
(3) Data . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-9-
(3) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan oleh
kementerian/lembaga terkait dalam penanganan fakir
miskin dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4) Kementerian/lembaga yang menggunakan data
terpadu untuk menangani fakir miskin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasil
pelaksanaannya kepada Menteri.
(5) Anggota masyarakat yang tercantum dalam data
terpadu sebagai fakir miskin diberikan kartu
identitas.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi informasi
dan penerbitan kartu identitas diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 11

PENDISTRIBUSIAN KARTU TRISAKTI PEMERINTAH MELANGGAR UU, DAN BERNUANSA BISNIS

Pendistribusian Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membagikan tiga kartu sakti Jokowi yaitu KIS (Kartu Indonesia Sehat), Kartu Indonesia Pintar(KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Namun, pendistribusian tiga kartu tersebut di seluruh kabupaten atau Kota  ternyata masih amburadul.

Di beberapa daerah, banyak sekali di temukan pendistribusiannya sangat mengecewakan. Bahkan penerima kartu itu cendrung di terima oleh masyarakat yang bukan berhak menerimanya.
Saya banyak laporan di daerah, selain mereka penerima tidak berhak juga masih banyak di temukan orang yang berhak tidak mendapatkan karna kurangnya sosialisasi, 

Pemerintah harus menggunakan  data terbaru, bukan menggunakan data yang sudah karatan,TAHUN 2011 dalam pelaksanaan program dalam uu harus data terbaru paling lama 2 tahun.  , Bagaimana Saudara bisa menduga orang meninggalpun masuk dalam data,  apakah menemukan hal yang sama di daerah saudara, mari bersama awasi??

Pemerintah juga harus memberikan sosialisasi dengan jelas kepada masyarakat penerima, karna banyak sekali di temukan, kartu sakti jokowi (KIS, KIP, KKS) ini tidak di mengerti penggunaanya, sehingga semua di jadikan untuk kubutuhan konsumerisme. Pembagian kartu ini menjadi mubazir, karna di gunakan tidak sesuai dengan peruntukannya, 

Dugaan Penyimpangan Pendistribusian:

1.      Data yang penerima dari data BPS 2011, tidak di abdatenya data, melanggar UUD uu no.13 Pasal 8, ayat (5). tahun 2011 - : tentang data kemiskinan harus di abdate sekali 2 tahun: Pendataan Fakir Miskin: Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.

2.   Pada Kartu yang di temukan adanya di temukan provider, kartu telpon, XL, M3 dan Telkomcell. Sehingga dengan demikian akan ada unsur bisnisnya, sementara pekerjaan sosial di lapangan di jadikan kedok, dengan demikian di duga ada pihak ke 3 yang bermain.
      KKS kepada 15,5 juta, KIP 11,1 juta siswa, KIS 86, 4 juta penduduk, Di perkirakan 117 jt cip kartu telpon di gunakan, pertanyaanya apakah juga nomor ini harus di gunakan. Patut di duga ada nuansa Bisnis dalam penentuan Simcard ini.

Saran
Untuk itu perlu rasanya penataan kembali pemberian dan pendistribusian kartu sakti pemerintah ini.
-Dilibatkan Pemerintah kab/kota, bahkan sampai ketingkat bawah camat dan Desa yang tahu data siapa yang berhak menerima semua Kartu Program Pemerintah tersebut.

wass. H. MHD. A.S



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG
PENANGANAN FAKIR MISKIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara
mempunyai tanggung jawab untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara
bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin
guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kemanusiaan;
c. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara
sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan
kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada
fakir miskin secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan;
d. bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan
dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga
diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin yang
terintegrasi dan terkoordinasi;
e. bahwa . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-2-
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penanganan Fakir Miskin;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4),
dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN FAKIR
MISKIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
2. Penanganan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-3-
2. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah,
terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta
fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga negara.
3. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
4. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2
Penanganan fakir miskin berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan sosial;
c. nondiskriminasi;
d. kesejahteraan;
e. kesetiakawanan; dan
f. pemberdayaan.
BAB II . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-4-
BAB II
HAK DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 3
Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan
perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan
martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam
membangun, mengembangkan, dan memberdayakan
diri dan keluarganya sesuai dengan karakter
budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial
dalam membangun, mengembangkan, serta
memberdayakan diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang
berkesinambungan; dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Pasal 4
Fakir miskin bertanggung jawab:
a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang
dapat merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan
ekonominya;
b. meningkatkan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-5-
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial
dalam bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan
meningkatkan taraf kesejahteraan serta berpartisipasi
dalam upaya penanganan kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan
bagi yang mempunyai potensi.
BAB III
PENANGANAN FAKIR MISKIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah,
terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Pasal 6
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
Pasal 7
(1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengembangan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-6-
a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk
mengembangkan kemampuan dasar dan
kemampuan berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk
memberikan rasa aman bagi fakir miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku
kepentingan; dan/atau
e. koordinasi antara kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah.
Bagian Kedua
Pendataan Fakir Miskin
Pasal 8
(1) Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai
dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin.
(2) Dalam . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-7-
(2) Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk
melakukan pendataan.
(4) Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap
hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan secara berkala sekurangkurangnya
2 (dua) tahun sekali.
(6) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dikecualikan apabila terjadi situasi dan
kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi seseorang menjadi
fakir miskin.
(7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber
kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan,
kelurahan atau desa.
(8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota.
(9) Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan
validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada
gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Pasal 9 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-8-
Pasal 9
(1) Seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara
aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala
desa atau nama lain yang sejenis di tempat
tinggalnya.
(2) Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir
miskin wajib melaporkan setiap perubahan data
anggota keluarganya kepada lurah atau kepala desa
atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya.
(3) Lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis
wajib menyampaikan pendaftaran atau perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada bupati/walikota melalui camat.
(4) Bupati/walikota menyampaikan pendaftaran atau
perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
(5) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat
melakukan verifikasi dan validasi terhadap
pendaftaran dan perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 10
(1) Data yang telah diverifikasi dan validasi harus
berbasis teknologi informasi dan dijadikan sebagai
data terpadu.
(2) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Menteri.
(3) Data . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-9-
(3) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan oleh
kementerian/lembaga terkait dalam penanganan fakir
miskin dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4) Kementerian/lembaga yang menggunakan data
terpadu untuk menangani fakir miskin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasil
pelaksanaannya kepada Menteri.
(5) Anggota masyarakat yang tercantum dalam data
terpadu sebagai fakir miskin diberikan kartu
identitas.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi informasi
dan penerbitan kartu identitas diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 11
(1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan
divalidasi yang disampaikan kepada Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9) dan
Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan dasar bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk memberikan bantuan dan/atau
pemberdayaan.
(3) Setiap orang dilarang memalsukan data fakir miskin
baik yang sudah diverifikasi dan divalidasi maupun
yang telah ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Keempat . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-10-
Bagian Keempat
Tanggung Jawab dalam Pelaksanaan Bentuk
Penanganan Fakir Miskin
Paragraf 1
Pengembangan Potensi Diri
Pasal 12
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung
jawab mengembangkan potensi diri bagi
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat.
(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui bimbingan
mental, spiritual, dan keterampilan.
Paragraf 2
Bantuan Pangan dan Sandang
Pasal 13
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyediakan bantuan pangan dan sandang yang layak.
Paragraf 3
Penyediaan Pelayanan Perumahan
Pasal 14
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyediakan pelayanan perumahan.
Paragraf 4 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-11-
Paragraf 4
Penyediaan Pelayanan Kesehatan
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung
jawab menyelenggarakan penyediaan pelayanan
kesehatan, baik dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui sistem jaminan sosial nasional.
Paragraf 5
Penyediaan Pelayanan Pendidikan
Pasal 16
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa.
Paragraf 6
Penyediaan Akses Kesempatan Kerja dan Berusaha
Pasal 17
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyediakan akses kesempatan kerja dan berusaha,
yang dilakukan melalui upaya:
a. penyediaan informasi lapangan kerja;
b. pemberian fasilitas pelatihan dan keterampilan;
c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha
mikro; dan/atau
d. penyediaan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-12-
d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan.
Paragraf 7
Pelayanan Sosial
Pasal 18
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung
jawab menyelenggarakan pelayanan sosial.
(2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. meningkatkan fungsi sosial, aksesibilitas
terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas
hidup;
b. meningkatkan kemampuan dan kepedulian
masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah
kemiskinan; dan
d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan
kesejahteraan sosial.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
(1) Penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh
Menteri secara terencana, terarah, terukur, dan
terpadu.
(2) Penanganan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-13-
(2) Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan
potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan
pelayanan sosial.
(3) Pemenuhan kebutuhan selain yang dimaksud pada
ayat (2) diselenggarakan oleh kementerian/lembaga
terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam
koordinasi Menteri.
Paragraf 2
Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah
Pasal 20
Penanganan fakir miskin melalui pendekatan wilayah
diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal,
yang meliputi wilayah:
a. perdesaan;
b. perkotaan;
c. pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. tertinggal/terpencil; dan/atau
e. perbatasan antarnegara.
Pasal 21
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perdesaan
dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang
pertanian, peternakan, dan kerajinan;
b. bantuan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-14-
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil
pertanian, peternakan, dan kerajinan;
c. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana;
d. penguatan kelembagaan masyarakat dan
pemerintahan desa; dan/atau
e. pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya.
Pasal 22
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perkotaan
dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang
usaha sektor informal;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil
usaha;
c. pengembangan lingkungan pemukiman yang sehat;
dan/atau
d. peningkatan rasa aman dari tindak kekerasan dan
kejahatan.
Pasal 23
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang
perikanan dan sumber daya laut;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil
usaha;
c. penguatan lembaga dan organisasi masyarakat pesisir
dan nelayan;
d. pemeliharaan daya dukung serta mutu lingkungan
pesisir dan pulau-pulau kecil; dan/atau
e. peningkatan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-15-
e. peningkatan keamanan berusaha dan pengamanan
sumber daya kelautan dan pesisir.
Pasal 24
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah
tertinggal/terpencil dilakukan melalui:
a. pengembangan ekonomi lokal bertumpu pada
pemanfaatan sumber daya alam, budaya, adat
istiadat, dan kearifan lokal secara berkelanjutan;
b. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang
pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
c. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil
pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
d. peningkatan pembangunan terhadap sarana dan
prasarana;
e. penguatan kelembagaan dan pemerintahan; dan/atau
f. pemeliharaan, perlindungan, dan pendayagunaan
sumber daya lokal.
Pasal 25
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perbatasan
antarnegara dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang
pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil
pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
c. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana;
d. penguatan kelembagaan dan pemerintahan;
e. pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya;
f. menjamin . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-16-
f. menjamin keamanan wilayah perbatasan serta
pengamanan sumber daya lokal; dan/atau
g. peningkatan daya tahan budaya lokal dari pengaruh
negatif budaya asing.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya
penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Penyaluran Bantuan
Pasal 27
Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah secara
komprehensif dan terkoordinasi.
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Pemerintah
Pasal 28
Dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin,
Pemerintah bertugas:
a. memberdayakan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin;
b. memfasilitasi . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-17-
b. memfasilitasi dan mengoordinasikan pelaksanaan
kebijakan dan strategi penanganan fakir miskin;
c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan
kebijakan dan strategi dalam penanganan fakir
miskin;
d. mengevaluasi kebijakan dan strategi penyelenggaraan
penanganan fakir miskin;
e. menyusun dan menyediakan basis data fakir miskin;
dan
f. mengalokasikan dana yang memadai dan mencukupi
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin.
 Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 Pemerintah berwenang menetapkan
kebijakan dan strategi penanganan fakir miskin pada
tingkat nasional.
Bagian Kedua
Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 30
(1) Dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin,
pemerintah daerah provinsi bertugas:
a. memberdayakan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin lintaskabupaten/kota;
b. memfasilitasi, mengoordinasi, serta
menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan dan
strategi penanganan fakir miskin
lintaskabupaten/kota;
c. mengawasi . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-18-
c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan
kebijakan, strategi, dan program dalam
penanganan fakir miskin lintaskabupaten/kota;
d. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi,
dan program penyelenggaraan penanganan fakir
miskin lintaskabupaten/kota; dan
e. mengalokasikan dana yang memadai dan
mencukupi dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk penyelenggaraan
penanganan fakir miskin.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah daerah provinsi berwenang
menetapkan kebijakan, strategi, dan program
tingkat provinsi dalam bentuk rencana penanganan
fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada
kebijakan, strategi, dan program nasional.
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 31
(1) Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin,
pemerintah daerah kabupaten/kota bertugas:
a. memfasilitasi, mengoordinasikan, dan
menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan,
strategi, dan program penyelenggaraan
penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan
kebijakan provinsi dan kebijakan nasional;
b. melaksanakan pemberdayaan pemangku
kepentingan dalam penanganan fakir miskin
pada tingkat kabupaten/kota;
c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian
terhadap kebijakan, strategi, serta program
dalam penanganan fakir miskin pada tingkat
kabupaten/kota;
d. mengevaluasi . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-19-
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program
pada tingkat kabupaten/kota;
e. menyediakan sarana dan prasarana bagi
penanganan fakir miskin;
f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai
dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk menyelenggarakan penanganan fakir
miskin.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah daerah kabupaten/kota
berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan
program tingkat kabupaten/kota dalam bentuk
rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan
berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program
nasional.
(3) Pemerintah desa melaksanakan penanganan fakir
miskin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
Sumber daya penyelenggaraan penanganan fakir miskin
meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. sarana dan prasarana;
c. sumber pendanaan; dan
d. sumber daya alam.
Bagian Kedua . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-20-
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Pasal 33
Sumber daya manusia penyelenggaraan penanganan
fakir miskin dilakukan oleh tenaga penanganan fakir
miskin yang terdiri atas:
a. tenaga kesejahteraan sosial;
b. pekerja sosial profesional;
c. relawan sosial;
d. penyuluh sosial; dan
e. tenaga pendamping.
Pasal 34
(1) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a dan huruf b
minimal memiliki kualifikasi:
a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial;
b. pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial;
dan/atau
c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.
(2) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dapat memperoleh:
a. pendidikan;
b. pelatihan; dan/atau
c. penghargaan.
(3) Tenaga . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-21-
(3) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, huruf b, huruf d,
dan huruf e dapat memperoleh promosi dan
tunjangan.
(4) Ketentuan mengenai tenaga penanganan fakir
miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 35
(1) Sarana dan prasarana penyelenggaraan penanganan
fakir miskin meliputi:
a. panti sosial;
b. pusat rehabilitasi sosial;
c. pusat pendidikan dan pelatihan;
d. pusat kesejahteraan sosial;
e. rumah singgah; dan
f. rumah perlindungan sosial.
(2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki standar minimum yang ditetapkan
oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar minimum
sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-22-
Bagian Keempat
Sumber Pendanaan
Pasal 36
(1) Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin,
meliputi:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan;
d. dana hibah baik dari dalam maupun luar negeri;
dan
e. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
digunakan sebesar-besarnya untuk penanganan
fakir miskin.
(3) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf e, merupakan sumbangan masyarakat bagi
kepentingan penanganan fakir miskin yang
pengumpulan dan penggunaannya dilaksanakan
oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengumpulan dan penggunaan sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-23-
Pasal 38
Setiap orang atau korporasi dilarang menyalahgunakan
dana penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1).
BAB VI
KOORDINASI DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Koordinasi
Pasal 39
(1) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan penanganan
fakir miskin pada tingkat nasional.
(2) Gubernur mengoordinasikan pelaksanaan
penanganan fakir miskin pada tingkat provinsi.
(3) Bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan
penanganan fakir miskin pada tingkat
kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 40
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan penanganan fakir miskin.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VII . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-24-
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
(1) Masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan
dan pengawasan penanganan fakir miskin.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh:
a. badan usaha;
b. organisasi kemasyarakatan;
c. perseorangan;
d. keluarga;
e. kelompok;
f. organisasi sosial;
g. yayasan;
h. lembaga swadaya masyarakat;
i. organisasi profesi; dan/atau
j. pelaku usaha.
(3) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf j berperan serta dalam menyediakan dana
pengembangan masyarakat sebagai pewujudan dari
tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir
miskin.
(4) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan
validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 43 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-25-
Pasal 43
(1) Setiap orang yang menyalahgunakan dana
penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Korporasi yang menyalahgunakan dana penanganan
fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,
dipidana dengan denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penanganan fakir miskin dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id-26-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 83
www.djpp.keme