Sabtu, 24 Januari 2015

PRESIDEN TAK TEGAS, INDONESIA AKAN KACAU BALAU ?????

Menerima hujatan adalah resiko berpolitik. Seorang pemimpin politik harus siap jadi pembawa bendera, siap di berada di garis terdepan, siap menerima kritik dan hantaman.
Perjuangan politik haruslah dalam koridor konstitusi. Harus dilakukan tanpa kekerasan.

Indonesia bukan Solo, bukan pula Jakarta. Negara ini berpenduduk 240 juta jiwa yang tersebar di 34 Provinsi. Indonesia juga memiliki keragaman agama, adat, budaya dan bahasa.
Dengan segala ke-Indonesiaan itu, kita butuh pemimpin yang kuat, berpengalaman dan tegas dalam mengambil keputusan. Maka wajar, bila beberapa waktu lalu, ketika Jokowi digadang-gadang jadi Capres 2014, mantan Wapres Jusuf Kalla menolak keras dengan sejumlah alasan.
Dalam tayangan wawancara JK dengan Harian Bisnis TV yang diapload Hendras Sakti di youtube itu, JK menegaskan, “Jangan karena popularitas lalu kita dengan mudah mencalonkan seseorang sebagai presiden”. “Negara ini bukan tempat uji coba kepemimpinan, kalau gagal kita copot diganti pemimpin baru.”
Di negara ini bergantung nasib 240 juta manusia dari berbagai latar belakang sosial dengan kompleksitas masalah yang rumit. Dengan kompleksitas itu, maka Indonesia membutuhkan figur yang kuat dengan kepemimpinan yang teruji.
Ketika ditanya apakah Jokowi layak memimpin Indonesia (Presiden) dengan tegas dan meyakinkan JK menolak. Kata JK ; “Jangan dicampur aduk dong.. biarkan Jokowi pimpin Jakarta dulu, bisa hancur dan kacau negara ini kalau di pimpin Jokowi”. Tambah JK, dia baru dibilang sukses memimpin Solo, Jakarta pun dia (Jokowi) belum terukur, bagaimana bisa memimpin negara dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa ini? Petikan wawancara JK selengkapnya ada di sini : 
Wawancara JK yang tajam dan bernas itu, menyadarkan kita, bahwa Jokowi belum sepantasnya mencalonkan diri sebagai presiden RI. Apalagi sebagai gubernur DKI yang terpilih pada pilgub 2012, ia belum menuntaskan janji-janjinya. Untuk janji dengan derajat Jakarta (Provinsi DKI) saja tak sanggup ia penuhi, apalagi janjinya sebagai presiden yang mencakup 34 provinsi. Meminjam istilah JK “Bisa rusak negara ini”.
Ibarat naik kelas, Jokowi mengalami akselerasi yang tak wajar. Biasanya kelas akselerasi itu diduduki oleh mereka yang berprestasi dengan indeks kemampuan yang terukur (di atas rata-rata). Sementara Jokowi, belum mengkualifikasikan dirinya dengan indeks prestasi sebagai gubernur DKI. Maka tak wajar, bila akselerasi kekuasaan ini ada di tangan Jokowi.
Terminologi yang tepat adalah Jokowi naik tahta, atau mengalami loncatan nasib berkat kuasa media. Media yang terlampau latah membajak imajinasi publik dengan “sebuah mobil rakitan bodong bernama mobil SMK.”
Membayangkan Indonesia dipimpin Jokowi, sama mirisnya melihat kegamangan Jokowi memimpin Jakarta. Membayangkan pengalaman kepemimpinan Jokowi bila jadi presiden, sama ngerinya membayangkan pengalaman Jokowi sebagai walikota Solo. Sebuah kota kecil dengan 5 (lima) kecamatan dan 51 kelurahan. Ada baiknya merenungkan wawancara JK ; “bisa kacau negara ini, kalau dipimpin Jokowi. Wallahu’alam. 

0 komentar:

Posting Komentar